Cerita Rakyat Jawa Barat: Dongeng Jenaka, Si Kabayan Memetik Buah Nangka. Cerita Diawali Nyi Iteng Ngidam

13 minutes reading
Saturday, 6 May 2023 15:39 7 Arif Rahman

Portalbaraya.com – Dalam artikel ini, akan disajikan salah satu cerita rakyat Jawa Barat yaitu sebuah Dongeng Si Kabayan yang melegenda karena ceritanya rata-rata menghibur pembaca.

Si Kabayan adalah tokoh legendaris dalam cerita rakyat Sunda yang dikenal sebagai seorang yang jenaka dan cerdik. Kisah Si Kabayan telah dikenal sejak zaman dahulu kala dan hingga saat ini masih dikenal dan disukai oleh masyarakat.

Si Kabayan juga sering kali dianggap sebagai sosok yang menghibur dan memberikan hiburan bagi masyarakat.

Kisah-kisah lucu dan cerdik yang melibatkan Si Kabayan selalu membuat orang tertawa dan merasa senang.

Dalam cerita rakyat Sunda, Si Kabayan sering kali dianggap sebagai simbol kebenaran dan keadilan. Ia selalu berusaha untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, meskipun ia sendiri harus menghadapi kesulitan.

Banyak cerita dalam dongeng si kabayan ini salah satunya yaitu cerita yang berjudul Si Kabayan Memetik Buah Nangka.

Semoga artikel ini dapat membawa kita ke dalam dunia cerita rakyat Sunda dan menambah pemahaman kita tentang kekayaan budaya Indonesia.

Berikut Dongeng Si Kabayan Memetik Buah Nangka

Hari sudah agak siang, tetapi Kabayan masih tiduran di balai-balai di depan rumahnya. Angin berembus sepoi-sepoi membuat Kabayan makin terbuai dalam tidurnya. Terdengar dengkurannya cukup keras sehingga suaranya sampai ke dalam rumah.

Nyi Iteung yang sedang menyapu di dalam sampai berhenti sejenak sambil geleng-geleng kepala.

“Ah, dasar pemalas, jam seperti ini masih saja tidur. Dari awal menikah sampai sekarang sifatnya yang jelek itu tidak pernah hilang.” Nyi Iteung berkata dalam hati.

Nyi Iteung bergegas ke luar sambil memegang perutnya yang maju. Ternyata dia sedang hamil muda. Hari itu tiba- tiba saja dia ingin makan buah nangka. Bawaan bayi di dalam perutnya yang membuatnya mengidam buah nangka. Dari pintu depan dilihatnya Kabayan sedang tidur dengan enaknya. Dia mendekati suaminya dan menggoyang- goyangkan tubuhnya.

“Kang…! Kang…! Bangun! Sudah siang. Tolong petikan buah nangka untuk Iteung,” kata Nyi Iteung sambil menggoyang-goyangkan tubuh Kabayan.

“Hhhmmm, siapa yang mengganggu tidur saya pagi-pagi begini?” gumam Kabayan. Matanya hanya terbuka sedikit untuk melihat siapa yang membangunkannya. Ternyata istrinya, lalu matanya terpejam kembali.

“Ih, si Akang mah. Ini Iteung!” omel Nyi Iteung sambil mengguncang-guncang lagi tubuh Kabayan. Kali ini guncangan tangan Nyi Iteung lebih kencang.

Kabayan malah membalikkan tubuhnya memunggungi istrinya sambil berkata, “Haduuuh, Nyai, nanti saja ya, besok, Akang masih ngantuk.”

Nyi Iteung cemberut. “Huh, Akang mah tidak sayang sama Iteung. Awas nanti Iteung akan beritahu Emak, Akang tidak mau nolong Iteung nyari buah nangka!” ancam Nyi Iteung.

Kabayan menjawabnya dengan suara ngoroknya. Nyi Iteung makin kesal. Dia beranjak dari balai dan setengah berlari menuju rumah Emak sambil berurai air mata.

Sesampainya di rumah Emak, Nyi Iteung menangis dengan keras sambil memeluk Emak. “Emaaak.. tuh Kang Kabayan. Tolong bantu, Emak, suruh dia.”

“Euleuh-euleuh, ada apa ini, Nyai? Jangan membuat Emak kaget. Ada apa dengan Kabayan? Apa yang bisa Emak bantu?”

“Itu, Mak, Kabayan! Iteung teh lagi mengidam pingin buah nangka, tetapi Kang Kabayan tidak mau mencarinya buat Iteung.”

 “Ya sudah jangan menangis! Biar nanti Emak yang bilang sama Si Kabayan.” Emak menenangkan Nyi Iteung. “Yuk, kita ke sana sekarang!” ajak Emak.

Nyi Iteung kembali ke rumahnya bersama Emak. Di jalan Iteung memberi tahu Emak tentang sifat Kang Kabayan yang tidak pernah berubah sampai saat ini, yakni malas-malasan.

Saat sampai di depan rumahnya, mereka melihat Kabayan masih tidur di balai. Suaranya mengoroknya terdengar cukup keras.

“Heh! Kabayan! Hayo bangun, dasar kebluk!” kata Emak setengah berteriak.
Kabayan terperanjat. Tangannya mengucek-ngucek matanya, lalu melihat siapa yang membangunkannya. “Eh Emak, ada apa pagi-pagi sudah teriak-teriak?” kata Kabayan sambil menguap.

“Ini sudah siang! Lihat itu matahari sudah bersinar. Kamu masih saja tidur. Heh Kabayan! Sudah tahu si Iteung lagi hamil, mengidam buah nangka, bukannya diturutkan keinginannya, eh ini malah tiduran tidak jelas.”

“Iya, Mak, sebentar lagi Kabayan nyari.”

“Bukan sebentar, sekarang juga pergi!” kata Emak sambil menarik tangan Kabayan.

“Iya, iya, Mak! Kabayan berangkat sekarang.” Kabayan menjawab sambil bangun.
“Yang sudah matang ya, nangkanya!” perintah Emak.

 “Baik, Emak. Kabayan akan carikan buah nangka yang besar dan matang, biar semua dapat bagian,” kata Kabayan penuh optimis.

Kabayan berangkat untuk mencari buah nangka. Jalannya agak sempoyongan karena masih mengantuk. Kabayan berbicara dalam hatinya.

“Hmm bagaimana Iteung teh, saya ‘kan lagi tidur. Suami sendiri lagi istirahat malah diganggu. Kalau bukan Emak yang nyuruh, saya malas metik buah nangka.”

Walau pun hati Kabayan ngomong seperti itu, tetapi dia mau disuruh oleh ibu mertuanya.

Dia masih menghormati ibu mertuanya karena beliaulah yang menyetujui dia nikah sama Nyi Iteung, tidak seperti bapak mertuanya yang setengah setuju. Kabayan memang lebih patuh terhadap ibu mertuanya daripada kepada bapak mertuanya.

Kabayan mendadak berhenti, tetapi hatinya terus berbicara. “Eh, Iteung ‘kan lagi mengidam, kasihan juga kalau dia mau makan nangka. Kasihan bayinya juga. Bayinya ‘kan anak Akang juga. Duuh, maafkan, Iteung. Akang akan cepat-cepat mencari nangka. Akang mencari yang besar dan matang.”

Kabayan mempercepat jalannya. Sambil berjalan matanya tengok kiri-kanan mencari pohon nangka. Rasa- rasanya minggu lalu Kabayan pernah melihat pohon nangka, tetapi dia lupa-lupa ingat di mana. Kakinya melangkah dan otaknya terus mengingat-ngingat. Setelah berjalan sekitar

20 menit dia teringat ada kebun yang ada pohon nangkanya di ujung kampung agak masuk ke dalam hutan. Waktu itu dia sedang mencari kayu bakar dan tidak sengaja melihat pohon nangka di dekat hutan kecil. Dia tahu pemilik kebun itu karena saat itu Pak Endit, pemilik kebun, sedang membabat rumput di sana. Dia bergegas ke kebun tersebut.

Akhirnya dia sampai juga di kebun itu. Kabayan berhenti sejenak. Pandangannya memutar ke sekeliling kebun untuk memeriksa siapa tahu ada pemilik kebun atau ada orang lain yang sedang lewat. Setelah diyakininya tidak ada orang lain, Kabayan segera masuk ke kebun itu dan tepat di sebelah kanan kebun pandangannya berhenti. Kabayan melihat pohon nangka yang sedang berbuah lebat. Dia melihat-lihat buah nangka yang cukup banyak dan dia melihat sepertinya buah nangkanya sudah matang, terbukti dari harumnya yang tercium oleh Kabayan.

Kabayan memanjat pohon nangka itu dan menepuk- nepuk buah nangka tersebut. “Pukk!.. pukk!” Terdengar suara agak nyaring ketika telapak tangannya menepuk buah nangka. Itu pertanda buah nangka itu memang sudah matang. Ukurannya sangat besar. Buah nangka itu dipotong dengan golok di bagian tangkainya dan jatuh dengan suara cukup keras. “Bukk…”

Sebelum turun, Kabayan melayangkan pandangannya ke samping kiri. Dilihatnya dari jauh ada orang datang mendekati kebun yang ternyata pemilik kebun. Orang itu tidak melihat Kabayan karena terhalang daun-daun yang cukup lebat.

Kabayan segera turun dari pohon nangka. “Waduh, bagaimana ini? Nyi Endit datang. Orangnya sangat galak lagi.” Kabayan bergumam.

Pandangan Kabayan memutar. Dilihatnya sungai di belakang kebun. “Ahaa! Kabayan menjentikkan jarinya, tanda dia mendapat ide.

Lalu, digelindingkannya buah nangka itu menuju sungai. Kabayan tidak mengangkutnya karena selain berat juga agar buah nangka itu tidak terlihat oleh yang empunya kebun. Setelah dekat sungai, buah nangka itu diceburkan dengan hati-hati agar tidak terdengar suara airnya.

“Nangka! Kamu pulang duluan, ya. Saya mau kabur dulu. Kamu sudah tua dan matang, keterlaluan kalau tidak tahu jalan,” bisik Kabayan.

Nangka itu hanyut terbawa air sungai yang mengalir cukup deras. Setelah dilihatnya buah nangka itu agak jauh, Kabayan tergesa-gesa jalan ke arah jalan masuk kebun. Saat Kabayan mau lari, yang punya kebun melihatnya.

“Heh! Kabayan! Lagi apa kamu di kebun saya? Kamu mau maling ya?” tanya Nyi Endit.

“Ehh, enggak, Nyai.” Suara Kabayan agak bergetar.

“Ah, kamu itu, alasan saja. Ayo ngaku saja mau maling!” Nyi Endit mendesak.

“Benar, Nyai. Kabayan mah tidak bohong.” Kali ini suara Kabayan agak ditegarkan.

 “Demi apa kamu, Kabayan?” tanya Nyi Endit lagi. “Demi Nyi Iteung, Nyai!” kata Kabayan tegas.

“Ahh kamu ini. Mau maling saja membawa-bawa nama istri segala. Ayo! Ikut saya. Kita ke rumah Pak RT!”

“Waduh, Nyai, jangan atuh! Betul saya tidak maling.

Sok mana barang buktinya?”

Lalu, Nyi Endit memeriksa Kabayan. Dilihat dari depan tidak ada yang mencurigakan. Dia memutari tubuh Kabayan.

“Iya juga ya. Tidak ada,” kata Nyi Endit. “Sudah kamu pergi sana.

Awas! Jangan ke sini lagi!” Nyi Endit membentak.

Tidak pikir panjang lagi, Kabayan langsung lari. Sambil lari dia menoleh ke Nyi Endit dan berteriak, “Dadah, Nyai!” “Dasar si Borokokok! Mempermainkan orang tua.” Nyi
Endit melengos.

Hampir setengah jam Kabayan berlari. Napasnya terengah-engah. Akhirnya dia jalan biasa. Untung buah nangkanya cepat diceburkan ke sungai, kalau tidak, hhmmm
… bisa gawat urusannya.

Kalau ketahuan Nyi Endit, Kabayan tidak hanya kena semprot, tetapi juga kena tampar. Nyi Endit kalau sedang marah selain memang suka mendamprat juga suka menampar. Tidak terbayangkan oleh Kabayan apabila pipinya kena tampar Nyi Endit. Sakitnya bisa ditahan, tetapi malunya itu.

Tak berapa lama kelihatan rumahnya. Nyi Iteung dan Emak sedang duduk-duduk di balai, menunggu kedatangannya. Mereka tidak menyadari Kabayan sudah datang karena keasyikan ngobrol. Begitu melihat Kabayan, Emak dan Nyi Iteung berdiri menyambut.

“Euleuh Akang! Sudah datang,” kata Nyi Iteung sambil senyum, berharap hari itu dia bisa makan nangka. Dia membayangkan betapa manis dan legitnya buah nangka. Lalu, dia menelan ludahnya.

“Dapat tidak buah nangkanya, Kabayan?” tanya Emak sambil matanya melihat seputar tubuh Kabayan.

“Dapat atuh, Mak. Matang dan besar sekali,” kata Kabayan bangga.

“Lalu, mana atuh nangkanya, Kang?” tanggap Nyi Iteung penuh tanda tanya.

“Hor! Memangnya belum sampai itu nangka?” Kabayan balik bertanya.

“Eh! Sampai bagaimana maksud Kabayan?” Emak bertanya.

“Si nangka itu saya hanyutkan. Saya suruh dia pulang duluan ke sini. Kok belum sampai ya?” terang Kabayan. “Kan buah nangka itu sudah tua, sudah matang, masa tidak tahu jalan pulang!” Kabayan menjelaskan lagi.

“Iya ya, Kang! Mengapa nangka itu tidak tahu jalan ke sini?” Nyi Iteung ikut heran.

“Ah Kabayan, Kabayan! Masa buah nangka bisa pulang sendiri. Nangka ‘kan bukan manusia. Tidak dewasa pisan,” tukas emak.

“Yeuh, si nangka yang tidak dewasa mah, Mak!” Kabayan menyela.

“Ya Allah, mimpi apa saya, punya anak bodoh kayak kamu Kabayan.” Emak menepuk jidatnya.

Emak memutar badan dan langsung pulang ke rumahnya tanpa pamit karena kesal. Kabayan tanpa menghiraukan Emak yang pulang tanpa kata, mengajak istrinya, Iteung, ke tepi kali di pinggir rumahnya.

Sungai di belakang kebun Nyi Endit memang mengalir ke kali di dekat rumahnya. Dia tadi menghanyutkan buah nangka karena sudah memastikan bahwa hanyutnya ke arah rumahnya. Dia dan istrinya menunggu sambil berjongkok, tetapi buah nangka yang ditunggu-tunggu belum datang juga.

Ketika Kabayan dan istrinya sedang menunggu, Abah datang. Dia melihat Kabayan dan anaknya sedang berjongkok.

Dia heran anak menantunya jongkok di pinggir kali tanpa suara. Wajah mereka tampak gelisah.

Abah mendekati mereka dan berkata, “Kabayan, Iteung! Lagi apa kalian jongkok di tepi kali? Tidak ada kerjaan!”

“Jangan ganggu atuh, Abah! Kabayan dan Iteung sedang khusyuk menunggu buah nangka pulang,” kata Kabayan tanpa melihat Abah. Matanya tertuju pada kali.

“Sejak kapan buah nangka berkaki? Pulang sendiri segala,” sahut Abah.

“Bukan begitu, Bah! Tadi Kang Kabayan memetik buah nangka, lalu dihanyutkan. Katanya itu buah nangka akan lewat ke kali ini.” Nyi Iteung ikut menjawab.

“Ooo maksudnya begitu. Wah kebetulan Abah baru pulang dari kebun. Sedang capek begini, sepertinya enak kalau makan nangka. Apalagi buah nangka yang matang, pasti manis,” ujar Abah sambil menelan air liur.

“Makanya bantu Kabayan nunggu buah nangkanya, Abah. Kabayan khawatir nyasar nangkanya.”

“Tunggu.. tunggu Kabayan. Kamu dapat buah nangka dari mana? Kamu ‘kan tidak menanam pohon nangka?”

“Namanya orang hidup ya berusaha, berikhtiar Abah.”

“Hati-hati! Kamu salah tidak ikhtiarnya. Abah mah tidak suka makan makanan yang haram.”

Ketika Abah dan Kabayan serta Nyi Iteung sedang mengobrol lewatlah Pak RT, Bu RT, dan anaknya. Mereka melihat Abah, Kabayan, dan Nyi Iteung sedang berkumpul di tepi kali. Mereka mendekatinya.

“Ada apa ini, kok berkumpul di tepi kali?” Pak RT bertanya.

“Lagi menunggu buah nangka lewat, Pak RT.” Nyi Iteung menjawab.

“Nangka yang ini bukan? Tadi saya menemukannya sedang mengambang terbawa arus air di kali sebelah sana,” kata Bu RT sambil tangannya memperlihatkan buah nangka.

 “Betul, Bu RT. Itu nangka saya. Coba ke sinikan. Sudah tua masih bandel nangka teh,” ucap Kabayan sambil tangannya menjulur.

“Apa betul ini nangka kamu, Kabayan?” Pak RT menyelidik.

“Betul atuh, Pak RT. Kalau tidak percaya sok tanya buah nangkanya.” Kabayan meyakinkan.

“Heh nangka! Apa benar kamu punya si Kabayan?”

Semua yang ada di situ terdiam. Mana ada nangka berbicara. Mereka heran mengapa Pak RT bertanya seperti itu.

Saat suasana hening seperti itu, terdengar suara- suara orang berbicara. Ketika mereka menoleh ke jalan, terlihatlah sepasang suami istri, Nyi Endit dan Pak Endit. Mereka menghampiri Kabayan dan yang lainnya di samping rumah Kabayan.

Wajah Kabayan tampak agak pucat. “Waduh yang punya buah nangka datang. Bisa gawat nih.” Kabayan bergumam.

Setelah dekat dengan kerumunan, Nyi Endit berkacak pinggang dan berkata, “Heh! Itu buah nangka saya yang diambil sama si Kabayan borokokok.”

“Jangan menuduh sembarangan begitu saja Nyi Endit. Harus ada buktinya.” Bu RT menengahi.

“Kan nangka ini buktinya. Buah nangka yang saya timang-timang. Pohonnya disiram tiap hari, diberi pupuk, dibelai-belai. Saya tahu persis sama buah nangka ini, Bu RT.” Nyi Endit menjelaskan.

 “Astagfirullah, adduuuh, Akang. Akang teh mencuri nangka?” Nyi Iteung berteriak.

“Kamu teh sudah membuat malu orang tua, Kabayan!” Abah membentak dan matanya melotot.

“Eh tenang dulu, Kabayan mah tidak mencuri. Hanya memetik.” Sambil berkata, Kabayan cengar-cengir dan menggaruk-garuk pantat yang tidak gatal.

“Ternyata kamu, Kabayan yang mencuri buah nangka saya. Ayo kita sidangkan di Istana Presiden!” Pak Endit emosi.

“Jangan! Jangan bawa Kang Kabayan ke istana. Ini salah Iteung yang mengidam nangka.” Nyi Iteung nangis sesunggukkan.

Ketika mendengar Nyi Iteung menangis karena mengidam buah nangka. Nyi Endit terenyuh juga hatinya. Bagaimana pun dia perempuan juga, dapat merasakan orang yang mengidam.

Dia niatkan dalam hatinya untuk memberikan buah nangka itu kepada Nyi Iteung.

“Mengapa Iteung tidak bilang langsung ke Nyi Endit,” kata Nyi Endit sambil matanya berkedip-kedip.

“Nih, dengarkan ya, ini buah nangka sengaja Nyai pelihara sampai matang untuk Nyi Iteung.

Nyai mah sama bapaknya sudah bosan. Nyai sendiri bosan dijuluki si pelit. Nyai sekarang ‘kan baik hati, tidak sombong, dan ramah. Sekarang mah buruan belah nangka ini.”

“Wah, terima kasih, Nyi Endit dan Pak Endit,” mata Nyi Iteung berkaca-kaca bahagia.

“Nah, kata Kabayan juga apa.” Kabayan menyeringai. “Awas, Kabayan. Jangan coba-coba lagi memetik buah nangka orang lain tanpa izin. Dosa tahu!” Mata Abah melotot. Kabayan hanya senyum menyeringai.

Setelah membelah buah nangka dan makan bersama-sama, mereka bubar, lalu pulang ke rumah masing-masing.

Nyi Iteung merasa bahagia dan puas karena tidak jadi makan buah nangka hasil mencuri.

Kabayan dan Nyi Iteung masuk ke rumah dengan muka berseri-seri dan perut kenyang. Baru saja Kabayan duduk, Emak datang dan berteriak memanggil Kabayan.

 “Kabayan! Kamu tega ya sama Emak. Mengapa tidak menyisihkan nangkanya buat Emak?” Emak menangis sesenggukan.

“Maaf, Mak, tuh Nyi Iteung dan Abah yang menghabiskan buah nangkanya,” kata Kabayan lalu masuk rumah.

“Eh, si Borokokok! Bisa-bisanya menuduh Abah yang menghabiskan. Dia sendiri makan banyak juga,” gerutu Abah. Tangisan Emak semakin kencang.

Itulah cerita rakyat Jawa Barat, Dongeng Si Kabayan Memetik Buah Nangka yang kami ambil dari buku cerita Si Kabayan yang ditulis oleh Muhammad Rizki dengan diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

LAINNYA