Portalbaraya.com – Film animasi Merah Putih: One for All diluncurkan menjelang peringatan HUT ke-80 RI. Dari ide, ini adalah proyek yang patut diapresiasi: menceritakan anak-anak dari berbagai suku di Indonesia yang bersatu untuk menyelamatkan bendera pusaka. Pesan persatuan dan kebanggaan nasional jelas menjadi benang merahnya.
Namun, ketika trailer resmi dirilis, reaksi publik justru lebih banyak mengarah pada kritik ketimbang pujian. Bukan pada alur cerita, melainkan pada kualitas visualnya. Banyak yang merasa tampilannya belum siap tayang, bahkan ada komentar yang menyebutnya seperti tugas sekolah yang diselesaikan mendekati deadline.
Perbandingan dengan animasi lokal lain seperti Jumbo pun bermunculan. Beberapa penonton yang jeli bahkan menemukan bahwa film ini menggunakan aset stok 3D dari luar negeri, mulai dari ‘Street of Mumbai’ di Daz3D hingga karakter dari Reallusion Content Store. Temuan ini memicu perdebatan, apalagi film ini mengusung semangat kebangsaan namun memanfaatkan aset impor.
Informasi soal biaya produksi semakin memanaskan diskusi. Film ini disebut menghabiskan dana sekitar Rp6,7 miliar, namun dikerjakan dalam waktu kurang dari sebulan. Mengingat proses animasi biasanya memerlukan waktu panjang dan pengerjaan detail, publik pun mempertanyakan mengapa eksekusinya terasa terburu-buru.
Produser Toto Soegriwo menanggapi kritik dengan santai. Di media sosial, ia menyebut bahwa komentator biasanya lebih pandai dari pemain, dan melihat ramainya perbincangan sebagai promosi gratis. Meski begitu, di dunia film, viral belum tentu identik dengan apresiasi positif.
Anggota DPR RI Ilham Permana menambahkan bahwa industri animasi memang kompleks dan membutuhkan sumber daya besar. Menurutnya, kritik dari publik wajar saja dan bisa menjadi masukan untuk perbaikan di masa depan. Sementara itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menegaskan bahwa mereka tidak memberikan dukungan dana atau promosi untuk film ini, melainkan hanya pernah memberikan masukan teknis dalam audiensi.
Akhirnya, Merah Putih: One for All menjadi contoh bahwa niat baik tidak cukup untuk membuat karya di era serba kritis ini. Visual yang mengecewakan akan cepat menjadi sorotan, bahkan menutupi pesan besar yang dibawa cerita. Jika ingin diingat sebagai karya kebanggaan nasional, bukan sekadar bahan perdebatan singkat di media sosial, eksekusi visual harus mampu berjalan seiring dengan semangat besar yang diusung.