Cerita Rakyat Jawa Barat: Dongeng Si Kabayan Membayar Hutang. Bermula Saat Si Kabayan Berhayal Jadi Orang Kaya

10 minutes reading
Saturday, 6 May 2023 21:28 6 Arif Rahman

Portalbaraya.com – Dalam artikel ini, akan disajikan salah satu cerita rakyat Jawa Barat yaitu sebuah Dongeng Si Kabayan yang melegenda karena ceritanya rata-rata menghibur pembaca.

Cerita rakyat Jawa Barat kali ini akan mengisahkan tentang Dongeng Si Kabayan yang berjudul Membayar Hutang

Seperti sudah banyak diketahui khususnya masyarakat Sunda bahwa Si Kabayan merupakan tokoh legendaris dalam cerita rakyat yang dikenal sebagai seorang jenaka dan cerdik.

Kisah Si Kabayan telah dikenal sejak zaman dahulu bahkan hingga saat ini masih popular dan disukai oleh masyarakat.

Baca Juga: Film Sekuel Terbaru – Transformers: Rise of the Beast, Jangan Lewatkan!

Si Kabayan juga sering kali dianggap sebagai sosok menghibur yang selalu memberikan hiburan bagi masyarakat.

Kisah-kisah lucu dan cerdik yang melibatkan Si Kabayan selalu membuat orang tertawa dan merasa senang.

Banyak cerita dalam dongeng si kabayan ini salah satunya yaitu cerita yang berjudul membayar hutang ini

Semoga artikel ini dapat membawa kita ke dalam dunia cerita rakyat Sunda dan menambah pemahaman kita tentang kekayaan budaya Indonesia.

Berikut Dongeng Si Kabayan Membayar Hutang

Matahari hampir tenggelam ke balik gunung, tetapi hari masih tampak terang.
Lembayung yang berwarna kekuningan menyinarkan cahaya indahnya ke bumi.

Seorang lelaki berikat kepala, memakai baju koko warna hitam, dan bercelana komprang duduk di teras rumah panggung menikmati suasana sore.

Pandangannya lurus. Wajahnya tampak lugu kadang sendu seperti sedang memikirkan sesuatu yang teramat berat.

Dari dalam rumah terdengar teriakan seorang perempuan memanggil-manggil namanya,

“Kang…Kang Kabayan!”

“Ah…Iteung, kerjanya hanya mengganggu kesenangan orang,” Kabayan sedikit kesal.

Panggilan istrinya tidak dipedulikan.

Karena yang dipanggil tidak menjawab, Nyi Iteung membuka pintu menghampiri suaminya,

“Kang! Dipanggil- panggil diam saja.”

“Iteung, aku tadi sedang mengkhayal, tanggung,” jawabnya tenang.

“Mengkhayal, mengkhayal,” Iteung mengomel kepada suaminya.

 “Dengarkan dulu, Iteung! Tadi Akang mengkhayal menjadi orang kaya, orang kaya yang banyak uang.”

Iteung mesem meledek suaminya, “Banyak uang? Akang itu banyak uang memang hanya dalam khayalan. Begitulah kalau jadi orang malas.”

Si Kabayan belum menjawab, istrinya terus mengomel, “Hai Kang! Jadi orang itu jangan malas, kalau ingin banyak uang kerja…kerja…bukan mengkhayal. Bagaimana bisa uang terkumpul banyak dengan cara mengkhayal.”

“Aeh…aeh Iteung mengapa jadi ribut?”

“Ya Akang sih penyebabnya, tiap hari diam, melamun, tidur, seharusnya pergi ke sawah, ke kebun.”

“Iteung! Sekarang ‘kan sedang kemarau, sedang susah air, sawah kering, kebun juga tanahnya keras tidak gembur.”

“Kalau tahu kemarau, cari usaha lain, dagang, jadi kuli
atau apalah yang dapat menghasilkan uang.”

“Ya, sebenarnya Akang mau dagang, tetapi tidak punya modal,“ kata Kabayan.

“Begini saja, Kang! Kalau Akang ingin usaha, pergi saja ke rumah Juragan Somad, pinjam uang untuk usaha,“ Iteung memberi usul kepada suaminya.

Si Kabayan merenung mendengar permintaan istrinya, tak lama kemudian wajahnya bersinar-sinar, “Benar, Iteung! Akang akan menemui Juragan Somad.”

Iteung tersenyum puas. Suara azan berkumandang dari surau, “Ayo, Kang, masuk. Kita berjamaah salat Magrib!”

Tanpa bicara lagi, si Kabayan masuk bersama istrinya. Selesai salat Magrib, mereka makan malam bersama. Makanan sederhana dengan tahu, asin, sambal, dan lalap- lalapan, tetapi nikmat.

Pukul sepuluh malam sebelum tidur, Kabayan mengobrol bersama istrinya.

“Iteung, kira-kira Juragan Somad akan ngasih pinjaman enggak ya?” kata Kabayan cemas.

“Yah. Kita berdoa saja, Kang, mudah-mudahan Juragan Somad sedang enak suasana hatinya. Dengan begitu dia tidak susah-susah memberi pinjaman uang kepada kita,” kata Iteung membesarkan hati Kabayan.

“Sekarang mah, Akang cepet tidur, biar besok tidak kesiangan salat Subuh,” ujar Iteung.

Keesokan paginya, Kabayan pergi ke rumah Juragan Somad. Nyi Iteung mengantar sampai depan pintu dan mendoakan semoga Kabayan berhasil.

Setelah sampai di rumahnya, Kabayan menyampaikan maksud kedatangannya kepada Juragan Somad.

Setelah berbicara panjang lebar Kabayan mendapat uang pinjaman dari Juragan Somad untuk modal usaha. Ia berjanji pada Juragan Somad akan membayar utang secepatnya.

Si Kabayan akan berjualan di pasar. Hatinya gembira karena Juragan Somad bermurah hati meminjamkan uangnya. Kabayan juga senang dan berterima kasih kepada istrinya yang telah mendoakannya sehingga maksud dan tujuannya tercapai.

Kabut masih menutupi dusun-dusun, embun pun tampak berkilauan di atas daun dan rumput-rumput, tetapi Si Kabayan sudah bersiap-siap ke luar rumah dengan barang dagangannya.

Ia menembus udara pagi berjalan bergegas ke pasar. Pasar sudah ramai. Si Kabayan mengatur dagangannya. Beberapa orang menghampiri dagangannya dan membelinya.

Datang lagi pembeli lain. Dalam tempo singkat dagangan itu habis. Si Kabayan bersiap-siap mau pulang.

Tidak lupa ia pun membeli keperluan dapur sebagai oleh-oleh untuk istrinya. Kabayan benar-benar gembira karena pulang membawa uang.

Dalam perjalanan, si Kabayan melihat ayam jago. Matanya tak lepas memandang ayam jago yang ukurannya sangat besar.

Tampak kepala ayam itu wajahnya segar. Kulit mukanya menutupi seluruh bagian mata, paruh, dan jambul sampai ke belakang telinganya.

Matanya tajam seperti elang, paruhnya runcing bak kakak tua. Jambulnya tidak terlalu lebar, tetapi cepat bereaksi ke kiri dan ke kanan. Lehernya langsing bergerak dengan lincahnya.

Yang lebih menarik adalah cakarnya kokoh mencengkeram, berdiri di tanah dengan kaki lurus. Sayapnya melebar dan mengipas-ngipas. “Ayam yang kuidamkan,” katanya. “Aku benar-benar ingin memilikinya.”

Tanpa pikir panjang, Kabayan menghampiri pedagang ayam dan menanyakan harganya. Pedagang ayam memuji- muji ayam jagonya. Kabayan semakin ingin memilikinya. Ia adu tawar dengan pedagang sampai ada kesepakatan harga. Si Kabayan pulang ke rumah.

Tangan kiri dan kanannya penuh dengan bawaan. Baru sampai halaman ia berteriak memanggil-manggil istrinya, “Iteung…Iteung…!”

Nyi Iteung terperanjat mendengar suara suaminya. Ia buru-buru ke luar menyongsong suaminya, “Kang…Kang Kabayan, sudah pulang? Bagaimana dengan dagangannya? Laris, Kang?” sambil bertanya, mata Iteung tak lepas dari ayam jago yang ada di tangan suaminya.

“Iteung, bukannya membantu, tanya terus. Ini bawa!” kata Kabayan sambil menyerahkan oleh-oleh. Ia tidak melepaskan ayam jago dari tangannya.
“Kang, kalau itu apa?” tangannya menunjuk pada ayam jago.

“Ayam, ayam jago, kamu tidak tahu ini ayam?” “Eh…iya ayam, tetapi ayam siapa?”

“Punya Akang, masa ayam orang dibawa-bawa.” “Dari mana, Kang?”

“Beli di jalan.”

“Beli? Uang hasil dagangan mana, Kang?”

“Banyak tanya,” katanya sambil memasukkan ayam ke dalam kurung yang sejak dulu kosong karena tidak mampu beli ayam.

Iteung menatap suaminya. Kepalanya penuh dengan pertanyaan.

“Iteung, uang hasil usaha tadi sekarang jadi ayam, ayam jago.”

Mendengar itu istrinya hampir menangis, “Kang! Kang Kabayan, bagaimana ini? Bagaimana bayar utang ke Juragan Somad?”

Si Kabayan diam saja, sedangkan Iteung terus berbicara mengomeli suaminya.

Hari-hari berikutnya, Kabayan sibuk mengurusi ayam jagonya. Ia sudah tidak berdagang, bahkan lupa dengan utangnya. Tanpa terasa jatuh tempo utang sudah sampai.

Pembantu Juragan Somad datang ke rumah Kabayan akan menagih utang. Kabayan terkejut juga dengan kedatangan pembantu Juragan Somad. Karena tidak ada uang, ia hanya dapat berjanji akan melunasi utang bulan depan. Pembantu Juragan Somad pulang dengan tangan hampa.

Bulan berikutnya pembantu Juragan Somad datang kembali menagih utang. Jawaban si Kabayan tetap sama. Begitu seterusnya sampai berkali-kali. Juragan Somad kesal kepada si Kabayan. Akhirnya, ia memutuskan akan datang sendiri ke rumah Kabayan.

Sebenarnya, Kabayan bingung karena belum punya uang untuk melunasi utang, tetapi penagih tak henti-hentinya menangih utang.

Bahkan ketika mendengar Juragan Somad akan ke rumahnya, Kabayan benar-benar takut. Kabayan pun tahu dari pembantu Juragan Somad, jika tidak membayar utang, Juragan Somad mengancam akan melaporkannya kepada kepala desa.

Si Kabayan tiba-tiba menggigil. Berselimut sarung, ia masuk ke dalam kamarnya.

“Aduh, bagaimana ini? Aku telah membuat malu istri dan mertuaku.” Terbayang ayam jago di pelupuk matanya, “Ayam jagoku dijual? Ah, jual saja daripada wirang,” katanya dalam hati.

“Tetapi, mendapatkan kembali ayam seperti itu susah,” Kabayan bimbang lagi. Ia berupaya keras mencari akal agar terbebas sementara dari Juragan Somad. Si Kabayan tertawa. Ia bangkit dari balai-balai sambil melemparkan sarung. Ia bergegas menemui istrinya.

“Iteung! Iteung!”

“Ya, Kang? Bagaimana?”

“Iteung! Aku akan ke kota mencari uang untuk bayar utang.”

“Benar, Kang? Iteung girang. Iya, Kang! Akang harus cepet-cepet bayar utang, malu, Kang.”

Kabayan pamit pada istrinya akan ke kota mencari uang. Kalau Juragan Somad datang, katakan saja untuk sementara ia akan membayar utang dengan ayam seberang.

Si Kabayan pergi lalu menghilang. Rupanya tidak pergi, ia bersembunyi di belakang. Tidak lupa ayam jago kesayangannya dibawa. Diam-diam ia menempeli tubuhnya dengan kapas dicampur bulu ayam mencontoh ayam jago miliknya.

Setelah tubuhnya tertutup kapas dan bulu ayam, Si Kabayan benar-benar berubah seperti ayam meskipun tampak cukup besar untuk ukuran seekor ayam. Lalu ia diam di samping kurung ayam yang sudah disiapkan.

Juragan Somad datang, ke rumah Kabayan. Ia mengetuk pintu depan keras, “Kabayan! Kabayan! Keluar!”

Terdengar istrinya membuka pintu dan mengucapkan salam pada tamunya. Kabayan mengendap-endap keluar membawa kurung ke teras rumah.

Lalu, ia masuk ke dalam kurung. Juragan Somad marah mengetahui si Kabayan tidak di rumah, tetapi sedikit terhibur mendengar keterangan Nyi Iteung, istri Kabayan yang mengatakan bahwa suaminya untuk sementara akan membayar utang dengan ayam seberang sambil tangannya menunjuk pada kurung ayam di depan terasnya.

Dalam hati Nyi Iteung bertanya-tanya mengapa ayam jago milik suaminya jadi berubah bentuk dan ukuran.

Juragan Somad menghampiri kurung ayam dengan kagum serta tangannya membuka kurung akan memeriksa ayam yang disebutnya ayam seberang.

Juragan Somad mengulurkan tangannya akan menangkap ayam yang sangat besar.

Kurungnya dibuka terlalu ke atas sehingga leluasa bagi ayam untuk keluar dari situ. Ayam seberang terkejut lalu kabur.

Ayam seberang agak susah larinya. Juragan Somad tidak menduga kalau ayam itu akan kabur.

Ia mengejar ayam. Ayam seberang menoleh ke kiri dan ke kanan mencari- cari tempat persembunyian. Ketika sampai di tepi sungai, ayam seberang nyebur ke sungai.

Juragan Somad berdiri di tepi sungai, tetapi ayam seberang seperti sudah hanyut ke tengah lalu hilang dari pandangan matanya.

Sebetulnya ayam seberang alias Kabayan tidak hanyut, tetapi dia menyelam dan di mulutnya ada bambu kecil yang berongga yang Kabayan bawa sebelumnya di balik pakaiannya sehingga Kabayan tetap bisa bernapas dengan mulutnya.

Kabayan menyelam di tengah sungai agar Juragan Somad tidak melihatnya. Walaupun agak jauh di tengah sungai, Kabayan masih dapat mendengar percakapan istrinya dengan Juragan Somad.

Juragan Somad kecewa. Tiba-tiba muncul Nyi Iteung yang sejak tadi menyusul, menyalahkan Juragan Somad, “Juragan! Karena Agan, ayam jadi kabur, Kabayan jadi tidak dapat membayar utang. Padahal, ayam itu dibeli dengan susah payah, dengan uang hasil usaha,” katanya.

Juragan Somad seperti terpojok dengan tuduhan itu. Ia merasa bersalah dan kasihan melihat Nyi Iteung yang terisak-isak, “Jadi bagaimana, Gan? Ayam itu harta satu- satunya bagi suamiku. Sekarang ayam itu hilang, apa nanti kata suamiku? Gan?” Nyi Iteung tersedu-sedu.

Juragan Somad semakin merasa bersalah. Baginya, uang yang dipinjam Kabayan itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan harta kekayaannya yang berlimpah. “Sudahlah, aku ikhlaskan,” katanya dalam hati. Setelah berpikir dan terpekur sejenak, Juragan Somad akhirnya berbicara kepada istri Kabayan.

“Sudahlah, Bi. Saya memang salah. Tadinya saya ingin melihat ayam dari dekat karena penasaran pada ayam seberang. Namun, nasi sudah menjadi bubur yang berlalu tidak dapat diulang. Sebagai gantinya, biarlah Kabayan tidak usah membayar utang. Saya bebaskan utang suamimu!”

“Oh..begitu, Gan? Terima kasih, Gan, terima kasih!”

Nyi Iteung tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.

Juragan Somad pulang ke rumah dengan tangan hampa seperti yang dialami pembantunya.

Sementara itu, ayam seberang yang berlindung di dalam sungai masih mendengar pembicaraan istrinya dengan Juragan Somad. Ayam seberang alias Kabayan mesem di dalam sungai.

Itulah cerita rakyat Jawa Barat, Dongeng Si Kabayan Membayar Hutang yang kami ambil dari buku cerita Si Kabayan yang ditulis oleh Muhammad Rizki dengan diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

LAINNYA